Minggu, 27 November 2011

Capung dalam Pusaran Limbah Lingkungan

Sunday, 01 May 2011
PERSOALAN sungai dan air bersih menjadi masalah dunia saat ini.Presiden Amerika Serikat Barrack Obama bahkan menaruh perhatian pada konsep yang ditawarkan Prigi Arisandi, penerima Green Nobel 2011 dari Goldman Environmental Foundation yang berkantor di San Fransisco,Amerika Serikat (USA).

Kemajuan teknologi sebuah negara membawa implikasi pada pencemaran lingkungan. Kualitas hidup manusia pun menjadi pertaruhan. Barrack Obama pun meminta Kepala Biro Lingkungan Hidup Gedung Putih, Nancy Sutley, mempelajari pemantauan sungai partisipatif yang ada di Surabaya. Penelitian yang digagas Prigi dengan Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) bentukannya. Di Amerika Serikat,pemantauan limbah menggunakan parameter fisik dan kimia cenderung dinilai terlambat dalam mendeteksi pencemaran. Cara itu baru bisa mendeteksi pencemaran apabila terjadi kerusakan lingkungan yang parah. Prigi menawarkan pemantauan kualitas air dengan menggunakan serangga.“Kita bisa memakai capung sebagai indikator kesehatan sungai,” ujar Prigi,kemarin.

Capung dipilih sebagai media penyelamat lingkungan karena prosesnya yang mudah. Keberadaan serangga itu bisa diketahui masyarakat, semua orang bisa melakukan pemantauan. Mereka yang tak memiliki pengetahuan luas tentang pendidikan biologi maupun lingkungan, bisa ikut nimbrung. Makanya, proses partisipatif menjadi model yang paling disuka untuk menyelamatkan lingkungan dari kepungan limbah industri.Warga Surabaya bisa melihat aktivitas serangga seperti capung beredar di sepanjang sungai. Kalau di tiap bantaran sungai tak ditemukan capung,maka aliran sungai itu sudah tercemar.

“Capung tahu kalau air yang mengandung limbah akan dijauhi,” kata Prigi. Di dalam tubuh capung memiliki penciuman dan deteksi zat berbahaya. Selama ini, capung sering berkelompok menyusuri aliran air. Kesadaran bersama untuk mengawasi lingkungan itu yang akan dikembangkan dalam mencegah kerusakan lingkungan. Untuk teknisnya, lanjut Prigi, ketika warga tak menemui capung di sungai, bisa langsung melapor ke pos pemantauan. Di sana, petugas langsung memeriksa kadar air di lokasi tersebut, sembari mengecek capung yang mati.Dalam tubuh capung akan diperiksa kandungan limbah berbahaya yang ada di air.

“Semua warga merasa memiliki lingkungan, watak kepedulian itu yang akan dikembangkan ke depan,”jelasnya. Ia membutuhkan waktu 15 tahun untuk menemukan konsep partisipatif yang dilakukan warga dalam memantau kesehatan lingkungan, terutama air yang ada di sungai.Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun pernah disomasinya dua kali karena tak memperhatikan penyelamatan lingkungan di sepanjang sungai Brantas dan Kali Surabaya.

Dipagari Pabrik

Cahaya senja yang keemasan jatuh di ujung rumput, di bantaran sungai Brantas ia mulai beraktivitas.Topi hitam dililitkan, sepasang ikat pinggang tambahan masih melekat di perutnya yang mengendong peralatan deteksi hewan sepanjang sungai. Kerumunan burung masih menteror,mereka bernyanyi di sepanjang jalan, keruh air di sungai itu membuat kawanan burung itu tak sudi meminum air di dalamnya. “Kita memeriksa binatang yang ada di sekitar sungai, kalau mereka mengandung racun dari zat pabrik, maka sungai ini sudah tercemar,” kata Prigi sembari memegang capung yang ada di pinggir pohon randu.

Tiap hari,habitat yang ada di sungai maupun warga yang tinggal di Surabaya dan sekitarnya harus bertaruh nyawa dengan pencemaran. Sebanyak 260 tempat usaha berdiri bebas di sepanjang bantaran sungai, 50 pabrik besar leluasa mengeluarkan limbahnya langsung ke sungai, dan 3.367 pemukiman liar yang tiap hari membuang sampah rumah tangga ke sungai. ”Jangan heran air di sungai ini putih pucat,semuanya sudah bercampur racun, dan kegunaan air dikonsumsi warga tiap hari,”katanya. Prigi menundukan kepala. Napasnya ditarik panjang ke dalam,wajah enam siswa yang masih duduk di bangku sekolah menengah terus dipandangi. Masa depan yang masih panjang, mereka sudah dihadapkan pada teror, ancaman habitat, dan penyakit kanker yag bisa datang sewaktu-waktu.

Sementara di ujung sungai, Karsidi, 51, masih memandikan anaknya di kali Surabaya. Sapuan angin tak menyurutkan niatnya membersihkan kuman yang menempel di badan. Pintu rumah belakangnya masih terbuka, menghadap langsung ke bibir sungai. Rambutnya terlihat keemasan terkena siraman matahari. Ia bertelanjang dada, hanya mengenakan sarung yang dililitkan sampai di ujung lutut, tanpa alas dan berjalan lincah masuk ke air.“Byurrrrr.”

Airnya masih putih pekat. Buih deterjen mengalir dari belakang, tepat 50 meter dari tempatnya mandi, dua orang ibu masih mencuci baju.Tiap tepi, terdapat popok bayi yang dikelilingi tinja menari salsa mengikuti iringan air yang bergoyang. “Ayo mandi sekalian sini Rizal, jangan diam saja,” teriak Karsidi yang sehari-hari bekerja di sebuah bengkel motor di kawasan Mastrip. Lelaki yang disebut Rizal itu masih tertunduk lesu.Bau amis kubangan tinja menusuk hidung.

Tangan yang hitam legam mengusap-usap lubang hidung. Berusaha menutupi bau anyir yang tiap pagi meresap dalam paru-parunya.“Tunggu sampah itu mengalir dulu Pak!”“Kamu nanti nggak mau mandi kalau terus menunda, ayo segera nyemplung ke sini.” Bagi Karsidi, penyakit gatal dan sakit perut masih dianggap biasa. Ia lebih menghawatirkan sesak napas yang pernah di derita si bungsu dua bulan lalu. Napasnya tersenggal, dada terus meronta, dan kening yang tak lepas dari guyuran keringat basah.

Hanya Layak untuk Ternak

Komposisi kali Surabaya saat ini terdiri atas sampah tanaman berupa ranting pohon, dedaunan dan sayuran yang dibuang ke air sebanyak 44%, sampah plastik berupa bungkus mie,minuman,shampo,dan diterjen sebanyak 27%,disusul popok bayi dan pembalut sekali pakai mencapai 15%, ada juga tinja manusia 7%, bangkai hewan 4%,serta styrofoam 3%. Penyakit yang menimpa anak Karsidi tak lepas dari pencemaran limbah pabrik dan popok sekali pakai. Bahan itu mengandung dioksin yang terbentuk dalam proses pemutihan kertas.

Dioksin bersifat keras, sehingga dapat menyebabkan penyakit kanker. Bahkan,popok sekali pakai setelah diteliti mengandung sodium polyacrylate, sejenis polimer penyerap super atau super absorbent polymer (SAP) yang akan berubah bentuk menjadi gel saat terkena cairan yang dapat meningkatkan risiko sindrom merebaknya racun. Akibatnya, daya resap cairan meningkat dan menciptakan kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan bakteri beracun. Dengan kondisi Kali Surabaya saat ini,kualitasnya hanya layak digunakan sebagai sarana peternakan.Dalam kajian yang dilakukan Perum Jasa Tirta dan Ecoton, menunjukkan bahwa badan air Kali Surabaya termasuk di Intake PDAM Karang Pilang, tidak memenuhi baku mutu air Kelas 1 untuk air minum sebagaimana yang diatur dalam PP 82/2001, sehingga tidak layak digunakan sebagai air baku air minum.

Tingginya tingkat pencemaran air Kali Surabaya yang menjadi 95% bahan baku PDAM kota Surabaya.Wilayah Kali Surabaya mencakup Kabupaten Mojokerto,Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo dan Kota Surabaya sepanjang 42 Km dari Pintu air Mlirip Mojokerto hingga Pintu Air Jagir Wonokromo. Anggota Dewan Lingkungan Jatim, Suko Widodo,menuturkan, selama ini pencemaran di Surabaya memang masuk kondisi akut.

Penemuan Prigi dengan konsep pemantauan bersama warga bisa menjadi pintu pembuka. Ada konsep penyadaran, pendidikan dan advokasi tentang penyelamatan air.Konsep penyelematan air yang dikembangkannya telah diadopsi di beberapa negara. aan haryono

Sumber :  http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/395860/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar