Minggu, 27 November 2011

Mencintai Capung

Tahun 2011 sudah datang. Para pencinta capung sedunia akan berkongres di Jepang. Siapakah yang akan mewakili Indonesia? Mengapa capung penting untuk dibicarakan? Apa jasanya bagi agribisnis? Kalau mau jelas, datanglah ke perkebunan buahbuahan. ‘Setiap 25 hektar kebun buah, memerlukan satu hektar permukaan air,’ begitu kata pekebun andal Budi Dharmawan. Ia sohor karena produksi durian, srikaya, dan buah naga di lahan 600 hektar. Tidak lupa, di setiap petak 25 hektar, dia membuat kolam buatan 100 m x 100 m.
Tujuannya bukan hanya untuk mempunyai cadangan air pada musim kemarau, tapi juga memberi kesempatan berbagai capung berkembang. Capung adalah sahabat bagi pekebun, petani, maupun warga kota. Capung memangsa lalat buah yang merusak mangga. Di sawah, capung melahap walang sangit dan berbagai hama kecil lainnya. Sedangkan di perkotaan, capung mengurangi populasi nyamuk yang membahayakan manusia. Maka, sudah waktunya Odonatologi diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia.
Odonatologi adalah ilmu tentang keluarga capung. Di dunia internasional kita mengenal tiga jenis utama. Pertama dragonfly, capung besar yang umum dikenal sebagai Anisoptera. Kedua, damselfly, si ekor jarum ramping Zygoptera. Dan ketiga Anisozygotera, gabungan dari keduanya. Inilah yang paling umum dan berwarna-warni. Sekadar informasi, setidaknya ada 5.500 spesies capung di seluruh muka bumi.
Dokter di udara
Sudah jelas, secara ekologis capung berjasa menyeimbangkan populasi insekta, sekaligus menjadi mata rantai bagi hewan yang lebih besar, termasuk pasokan makanan bagi burung walet dan aneka burung berkicau. Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah peran capung dalam sejarah peradaban dan kebudayaan manusia. Sejak zaman dinosaurus, menurut sejarah alam semesta capung sudah ada. Hal itu dibuktikan dari tersisanya fosil dari 250-juta tahun silam.
Uniknya, ketika dinosaurus punah, capung tetap bertahan. Capung mempunyai daya adaptasi yang luar biasa. Iklim planet Bumi berubah-ubah, capung tetap bertahan. Pada suatu masa, konon ada capung yang rentang sayapnya mencapai setengah meter. Dewasa ini, paling panjang tubuh capung 8 cm dengan rentang sayap 15 cm. Sedangkan damselfly yang kita kenal sebagai jarum terbang, lebih kecil, lebih ramping, dan lebih lembut lagi.
Meskipun begitu, keluarga capung termasuk insekta dengan kemampuan terbang paling cepat. Rata-rata bisa menempuh 40 - 60 km per jam, tetapi ada juga yang mampu terbang 90 km per jam. Artinya, jenis itu bisa bertahan dalam angin topan dan badai. Capung sangat hemat energi. Mereka terbang tanpa sibuk mengepakan sayap. Bahkan mampu berhenti maupun kawin di angkasa.
Berbagai bangsa di dunia mempunyai pandangan istimewa tentang capung. Jepang melihat capung sebagai lambang kecepatan dan ketepatan. Para samurai meneladani kehebatan capung dalam menjalani hidup yang efisien, bersih, dan lincah. Dalam banyak lagu, capung dinyanyikan sebagai makhluk yang meneruskan kenangan yang indah.
Dalam berbagai acara keagamaan, capung dianggap bisa membimbing manusia berdoa, menemukan jati diri dan mencari penciptanya. Capung dipakai sebagai penuntun dalam bermeditasi di kuil-kuil dan klenteng di Asia. Di Eropa, capung juga mempunyai tugas-tugas spiritual. Misalnya di Swedia, capung diperalat oleh setan untuk menimbang dosa manusia. Di Rumania ada kepercayaan bahwa capung adalah kendaraan, semacam kuda bagi roh jahat. Sedangkan di Portugal, capung menjadi mata-mata, untuk mengawasi anak yang suka berbohong.
Orang-orang Selatan di Amerika Serikat menyebut capung sebagai dokter untuk ular. Capung terbang mengikuti ular. Kalau ular terluka, capung akan datang dan menyembuhkan. Di Indonesia? Para pemerhati capung dunia mencatat bahwa capung termasuk masakan yang lezat di Indonesia, karena kita mengenal rempeyek capung. Ada juga capung goreng sebagaimana belalang goreng dan aneka masakan langit lainnya.
Jadi obat
‘Sky food’ kita memang tidak kalah dengan ‘sea food’. Di Gunung Kidul, Yogyakarta, di daerah-daerah minus, capung, laron, belalang, dan kepompong adalah makanan yang populer, setidaknya sejak zaman Jepang hingga 1970-an. Daging capung yang ulet, liat, dan manis, bahkan sering kali dimakan mentah sebagai obat. Di China dan Jepang, capung memang termasuk dalam resep pengobatan tradisional.
Orang-orang Indian Navajo pada zaman dulu melukis capung sebagai tanda air bersih yang boleh diminum. Capung memang sering menjadi simbol dari kejernihan berpikir, kelincahan bertindak, kecepatan, dan ketepatan. Mata capung yang bulat dan dapat memandang luas, 360 derajat, dianggap sebagai lambang pengetahuan yang luas.
Pada zaman modern, capung mengajar manusia terbang dan membuat desain helikopter. Indonesia pada 1950-an memiliki pesawat ultraringan, Capung X, yang dapat mendarat di lapangan tenis dan menggunakan mesin dari mobil Volkswagen maupun skuter. Sayang sekali prototipe capung sebagai pesawat kecil asli Indonesia tidak dikembangkan. Sekarang, pada saat dunia menghadapi krisis lingkungan dan perubahan iklim, kebijaksanaan capung kembali didambakan.
Keluarga Odonata itu menjadi indikator udara bersih, bebas polusi, air bersih, dan lingkungan sehat. Berbagai negara memiliki organisasi pencinta capung, yang tergabung dalam Asosiasi Capung Sedunia Worldwide Dragonfly Association. Lembaga itu menerbitkan berkala terkenal, Agrion, yang menjadi acuan para pemerhati capung sedunia. Di Indonesia, sejak tahun silam juga muncul Dempo Dragonfly Society (DDS) yang berpusat di Malang. Kegiatan mereka terfokus pada penelitian yang terkait dengan kualitas air bersih.
Jangan lupa, Indonesia dikenal mempunyai bakat istimewa sebagai eksportir ragam hias, batik, kerajinan perak, emas, dan berlian yang bisa menggunakan capung sebagai inspirasi motifnya. Selama ini, DDS masih mengutamakan kaitan capung dengan fotografi, sebagai sarana dokumentasi dan karya foto seni. Hal itu menjadi sasaran yang umum di banyak negara Asia Tenggara.
Produk utama para pencinta capung yang menonjol adalah buku-buku indah seperti ‘Dragonflies in Singapore’ dan Suomen Sudenkorennot, perihal capung Finlandia. Selain itu sejumlah besar penelitian di Nigeria, Sri Lanka, serbuan capung berotot merah Sympetrum fonscolombii di Uni Emirat Arab, beserta film dan video seputar Odonata di berbagai belahan bumi. Inggris yang memiliki British Dragonfly Society sejak 1983, memfokuskan kegiatannya di lapangan pendidikan dan konservasi.
Sedangkan Amerika Serikat yang memiliki Dragonfly Monitoring Network, berpusat di Illinois sejak 1987, mengadakan pelatihan pemantauan secara rutin setiap tahun. Harap dicatat bahwa pengamatan capung di negara-negara 4 musim diadakan antara Mei - September. Tanahair kita beruntung memiliki capung sepanjang tahun. Semestinya Indonesia bisa menjadi lahan penting dalam Odonatologi.
Yang lebih utama lagi, kita perlu bantuan capung untuk mendongkrak dunia pariwisata. Dalam kongres pencinta capung di Eropa, tahun lalu, sekitar 85 Odonatis atau pakar dunia capung berkumpul, untuk mengadakan kunjungan lapangan ke berbagai negara. Nah, dengan diputuskannya Jepang menjadi tuan rumah kongres capung sedunia, berbagai hotel pun menawarkan produknya. Wisata capung sebagai bagian dari ekowisata, menjadi tema yang sangat elegan dan memikat hati.

Sumber : http://kompasbisnis.multiply.com/journal/item/510

Tidak ada komentar:

Posting Komentar